Pada kesempatan ini, penulis mencoba menelusuri tempat wisata yang bernama Tirta Sanita di sekitar perbatasan Tangerang – Bogor, tepatnya di daerah Ciseeng. Untuk menuju tempat ini, kita menuju ke arah BSD Tangerang, lalu dari BSD Junction, ambil arah lurus, terus saja melewati kompleks The Green lalu mengikuti petunjuk jalan ke Puspitek. Di perempatan pasar Prungpung, ambil jalan yang lurus, nanti lokasi wisata ini terdapat di sebelah kiri jalan. Kira2 jaraknya sekitar 22 km dari exit tol Serpong. Sebelum memasuki kawasan ini Anda akan diminta untuk membayar sebesar Rp 1.000 / kendaraan untuk sumbangan lingkungan setempat.
Tempat ini menawarkan pemandian air panas alami yang berasal dari gunung kapur Ciseeng. Air panas tersebut dapat menyembuhkan penyakit kulit, tulang dan lain sebagainya, bahkan sudah diuji oleh TEMAC Thai Engineering Materials Analysis C. Ltd. Tiket masuk ke lokasi sebesar Rp 6.000 untuk dewasa dan Rp 3.500 untuk anak2. Di dalamnya terdapat kolam renang anak2 dengan membayar Rp 3.000 / orang. Kolam tersebut ukurannya kecil dan saat itu cukup padat oleh pengunjung. Lalu ada lagi pemandian untuk dewasa, sebesar Rp 6.000 per orang untuk kamar biasa (ukuran 2×2 m) atau Rp 10.000 per orang untuk kamar VIP (ukuran 4x4m). Tapi saat itu pun tempat pemandian ini Full.. bahkan antrian masih panjang, sehingga kami tidak mencobanya.
Selain pemandian air panas, di Tirta Sanita juga terdapat taman, bukit kapur, area outbound dan juga beberapa permainan anak. Memang kawasannya tidak terlalu luas, tapi lumayan untuk beristirahat sejenak. Jika kita menaiki bukit kapur, maka dari atas kita dapat melihat pemandangan yang cukup indah. Hamparan sawah dan pepohonan membuat suasana hati menjadi sejuk, walaupun cuaca di lokasi cukup panas. Hati2 dalam menaiki bukit kapur ini, karena beberapa anak tangga sudah rusak.
Jangan takut akan kelaparan atau kehausan, karena banyak sekali penjual makanan & minuman di dalam kawasan ini. Bahkan begitu Anda duduk, langung ditawarkan kelapa muda juga makanan lainnya. Berhubung cuaca yang cukup panas, minum sebutir kelapa muda menyegarkan tenggorokan yang kering. Harganya pun cukup murah, hanya Rp 5.000. Disana juga terdapat sebuah panggung hiburan, yang saat itu menampilkan musik live yaitu dangdut .
Di sana juga terdapat area outbound, yang berupa flying fox, meniti tali seharga Rp 25.000 / orang. Flying foxnya cukup tinggi lho. Juga terdapat arena mainan anak2 yang berupa mobil/motor yang menggunakan batterai dengan harga Rp 5.000, dan motor kecil yang menggunakan bensin dengan harga Rp 7.000 masing2 selama 15 menit.
Ada juga restoran yang menyajikan makanan dengan harga cukup terjangkau. Rasanya pun lumayan enak, restoran ini terletak di tengah danau. Tidak jauh dari restoran terdapat sebuah bangunan,yang ternyata penginapan. Penginapannya sederhana, tapi tiap kamar dilengkapi AC. Tarifnya Rp 135.000 untuk yg kamar mandi di luar, dan Rp 165.000 untuk kamar mandi di dalam. Juga tersedia untuk istirahat saja (per 6 jam). Waktu kami iseng menanyakan, ternyata kamarnya penuh semua lho.
Memang tidak terlalu mengagumkan, tapi cukup menjadi alternatif untuk berwisata hemat bersama keluarga. Jika Anda ingin mendapatkan informasi lebih detail, dapat menghubungi langsung di (0251)-542551, 542550
Tuesday, December 28, 2010
Wednesday, December 1, 2010
Kisah Alqomah pelajaran buat kita
Konon dikisahkan bahwa pada zaman Rosululloh ada seorang pemuda yang bernama Alqomah. Dia seorang pemuda yang giat beribadah, rajin sholat, banyak puasa dan suka
bershodaqoh. Suatu ketika dia sakit keras, maka istrinya mengirim utusan kepada Rosululloh untuk memberitahukan kepada beliau akan keadaan Alqomah. Maka Rosululloh pun mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib ar Rumi dan Bilal bin Robah untuk melihat keadaannnya. Beliau bersabda : Pergilah ke rumah Alqomah dan talqinlah untuk mengucapkan La Ilaha Illalloh. Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata saat iu Alqomah sudah dalam keadaan naza, maka segeralah mereka mentalqinnya, namun ternyata lisan Alqomah tidak bisa mengucapkan La ilaha illalloh.
Langsung saja mereka laporkan kejadian ini pada Rosululloh.
Maka Rosululloh pun bertanya : Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua ?
Ada yang menjawab : Ada wahai Rosululloh, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.
Maka Rosululloh mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau berkata kepada utusan tersebut : Katakan kepada ibunya Alqomah : Jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rosululloh maka datanglah, namun kalau tidak, maka biarlah Rosululloh yang datang menemuimu.
Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqomah dan pesan beliau itu disampaikan, maka dia berkata : Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi Rosululloh.
Maka dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rosululloh. Sesampainya di rumah Rosululloh, dia mengucapkan salam dan Rosululloh pun menjawab salamnya.
Lalu Rosululloh bersabda kepadanya : Wahai ibu Alqomah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong maka akan datang wahyu dari Alloh yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqomah ?
Sang ibu menjawab : Wahai Rosululloh, dia rajin mengerjakan sholat, banyak puasa dan senang bershodaqoh.
Lalu Rosululloh bertanya lagi : Lalu apa perasaanmu padanya ?
Dia menjawab : Saya marah kepadanya Wahai Rosululloh.
Rosululloh bertanya lagi : Kenapa ?.
Dia menjawab : Wahai Rosululloh, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan dia pun durhaka kepadaku. Maka Rosululloh bersabda : Sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqomah sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.
Kemudian beliau bersabda : Wahai Bilal , pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak. Si ibu berkata : Wahai Rosululloh, apa yang akan engkau perbuat ?.
Beliau menjawab : Saya akan membakarnya dihadapanmu .
dia menjawab : Wahai Rosululloh , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku.
Maka Rosululloh menjawab : Wahai Ibu Alqomah, sesungguhnya adzab Alloh lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau kepingin agar Alloh mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqomah, demi dzat yang jiwaku berada di Tangan Nya, sholat, puasa dan shodaqohnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,
Maka dia berkata ; Wahai Rosululloh, Alloh sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini bahwa saya telah ridlo pada anakku Alqomah.
Rosululloh pun berkata kepada Bilal : Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Alqomah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum, barangkali ibu Alqomah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.
Maka, Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqomah dari dalam rumah mengucapkan : La Ilaha Illalloh. Maka Bilal pun masuk dan berkata : Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqomah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridlonya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.
Kemudian, Alqomah pun meninggal dunia saat itu juga.
Maka, Rosululloh melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani kemudian beliau mensholatinya dan menguburkannya,
Lalu, didekat kuburan itu beliau bersabda : Wahai sekalian kaum muhajirin dan anshor, barang siapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Alloh, para malaikat dan sekalian manusia. Alloh tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertaubat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridlonya, karena ridlo Alloh tergantung pada ridlonya dan kemarahan Alloh tergantung pada kemarahannya.
Dari Abdulloh bin Amr bin Ash dari Rosululloh bersabda : Dosa-dosa besar adalah berbuat syiik kepada Alloh, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu. (HR. Bukhori)
Dan untuk mengetahui banyak hadis tentang pahala berbuat bakti pada kedua orang tua dan ancaman bagi yang durhaka kepada keduanya, lihatlah shohih targhib wat Tarhib oleh Syaikh Al Albani pada bab ini. Wallohu alam
Wassalam,
bershodaqoh. Suatu ketika dia sakit keras, maka istrinya mengirim utusan kepada Rosululloh untuk memberitahukan kepada beliau akan keadaan Alqomah. Maka Rosululloh pun mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib ar Rumi dan Bilal bin Robah untuk melihat keadaannnya. Beliau bersabda : Pergilah ke rumah Alqomah dan talqinlah untuk mengucapkan La Ilaha Illalloh. Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata saat iu Alqomah sudah dalam keadaan naza, maka segeralah mereka mentalqinnya, namun ternyata lisan Alqomah tidak bisa mengucapkan La ilaha illalloh.
Langsung saja mereka laporkan kejadian ini pada Rosululloh.
Maka Rosululloh pun bertanya : Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua ?
Ada yang menjawab : Ada wahai Rosululloh, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.
Maka Rosululloh mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau berkata kepada utusan tersebut : Katakan kepada ibunya Alqomah : Jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rosululloh maka datanglah, namun kalau tidak, maka biarlah Rosululloh yang datang menemuimu.
Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqomah dan pesan beliau itu disampaikan, maka dia berkata : Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi Rosululloh.
Maka dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rosululloh. Sesampainya di rumah Rosululloh, dia mengucapkan salam dan Rosululloh pun menjawab salamnya.
Lalu Rosululloh bersabda kepadanya : Wahai ibu Alqomah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong maka akan datang wahyu dari Alloh yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqomah ?
Sang ibu menjawab : Wahai Rosululloh, dia rajin mengerjakan sholat, banyak puasa dan senang bershodaqoh.
Lalu Rosululloh bertanya lagi : Lalu apa perasaanmu padanya ?
Dia menjawab : Saya marah kepadanya Wahai Rosululloh.
Rosululloh bertanya lagi : Kenapa ?.
Dia menjawab : Wahai Rosululloh, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan dia pun durhaka kepadaku. Maka Rosululloh bersabda : Sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqomah sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.
Kemudian beliau bersabda : Wahai Bilal , pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak. Si ibu berkata : Wahai Rosululloh, apa yang akan engkau perbuat ?.
Beliau menjawab : Saya akan membakarnya dihadapanmu .
dia menjawab : Wahai Rosululloh , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku.
Maka Rosululloh menjawab : Wahai Ibu Alqomah, sesungguhnya adzab Alloh lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau kepingin agar Alloh mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqomah, demi dzat yang jiwaku berada di Tangan Nya, sholat, puasa dan shodaqohnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,
Maka dia berkata ; Wahai Rosululloh, Alloh sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini bahwa saya telah ridlo pada anakku Alqomah.
Rosululloh pun berkata kepada Bilal : Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Alqomah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum, barangkali ibu Alqomah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.
Maka, Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqomah dari dalam rumah mengucapkan : La Ilaha Illalloh. Maka Bilal pun masuk dan berkata : Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqomah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridlonya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.
Kemudian, Alqomah pun meninggal dunia saat itu juga.
Maka, Rosululloh melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani kemudian beliau mensholatinya dan menguburkannya,
Lalu, didekat kuburan itu beliau bersabda : Wahai sekalian kaum muhajirin dan anshor, barang siapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Alloh, para malaikat dan sekalian manusia. Alloh tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertaubat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridlonya, karena ridlo Alloh tergantung pada ridlonya dan kemarahan Alloh tergantung pada kemarahannya.
Dari Abdulloh bin Amr bin Ash dari Rosululloh bersabda : Dosa-dosa besar adalah berbuat syiik kepada Alloh, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa serta sumpah palsu. (HR. Bukhori)
Dan untuk mengetahui banyak hadis tentang pahala berbuat bakti pada kedua orang tua dan ancaman bagi yang durhaka kepada keduanya, lihatlah shohih targhib wat Tarhib oleh Syaikh Al Albani pada bab ini. Wallohu alam
Wassalam,
Jangan Marah, Kamu Akan Masuk Surga
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).
SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu ‘anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.
DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”[1]
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali”. [al-Fath/48 : 6] [2]
Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik sebelum maupun sesudahnya.[3]
Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” [asy-Syûrâ/42 : 11]
Sifat marah bagi Allah Azza wa Jalla merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang wajib ditempuh oleh setiap muslim.
Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau marah karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka beliau marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa Alaihissalam [4] dan marahnya Nabi Yunus Alaihissalam [5]. Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau jangan marah “ kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal.
Pertama. Maksud dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik yang semisalnya.
Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul berbagai sebabnya.
Kedua. Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan melakukan tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya.
Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:
”Dan setelah amarah Musa mereda… ” [al-A’râf/7 : 154]
Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah.
Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla :
“… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf” [asy-Syûrâ/42 : 37]
Juga dengan firman-Nya Ta’ala:
“…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” [Ali ‘Imrân/3 : 134]
Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meredam amarah adalah dengan mengucapkan: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”. Para sahabat berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?” Laki-laki itu menjawab, “Aku bukan orang gila”.[6]
Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” [al-A’râf/7 : 200]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.
“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring” [7].
Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.
Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.
“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam” [8].
Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji, melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua keburukan itu hilang darinya.
Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah”. [9]
Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.[10]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.
“Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah k akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai” [11].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ.
“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga” [12].
Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya, bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah Ta’ala berfirman:
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)… ” [at-Taubah/9 : 14-15]
Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau ketika berjihad di jalan Allah.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur`ân.”[13] Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-Qur`ân, berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`ân dan marah karena kemarahan Al-Qur`ân.
Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang dibencinya, kami mengetahuinya di wajah beliau.”[14]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat bagi beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ.
“Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar” [15].
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat atau mendengar sesuatu yang membuat Allah Azza wa Jalla murka, maka beliau marah karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya lalu bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar ini.” [16]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang imam yang shalat lama dengan manusia hingga sebagian mereka terlambat, beliau marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam melihat dahak di kiblat masjid, beliau marah, mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah Azza wa Jalla ada di depan wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan wajahnya ketika shalat.”[18]
Diantara do’a yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baca ialah:
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى.
“Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha” [19].
Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah atau ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah , mereka tidak bisa berhenti dari apa yang mereka katakan.
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada seorang laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah melaknatmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi diri kalian. kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi harta kalian. Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu tersebut permintaan diajukan, melainkan Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan bagi kalian.”[20]
Ini semua menunjukkan bahwa do’a orang yang marah akan dikabulkan jika bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya.
Seorang ulama Salaf t berkata, ”Orang yang marah jika penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku cambuk, maka aku menjadikannya sebagai penebus (dosa) baginya.”[21]
Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar dari orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah, ia dihukum karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.[22]
Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah mendurhakai kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri.”[23]
Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat kaffarat.
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami mentalaq istrinya dengan talaq satu dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan istrinya selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali haidh atau tiga bulan jika ia tidak haidh agar marahnya hilang.” Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.[24]
BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.
FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan marah!” Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang obat meredam amarah.
Maraaji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Ausath lith-Thabrani.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
5. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
7. Kutubus Sab’ah.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Mustadrak al-Hakim.
10. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
11. Shahiih al-Jâmi’ish Shaghîr.
12. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
13. Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
15. Sunan ad-Darimi.
16. Sunan al-Baihaqi.
17. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fat-hul Bâri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thâhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435), Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban (no. 6431 –at-Ta’lîqâtul Hisân), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nasâ`i dalam As-Sunanul-Kubra (no. 11222).
[4]. Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282, 6048, 6115), Muslim (no. 2610). Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila” silakan lihat Fat-hul Bâri (X/467).
[7]. Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152- Kasyful Astâr) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no. 693) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bâri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari Sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522).
[12]. Shahîh. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7374) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (no. 2749).
[13]. Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188, 216), an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no. 2333), dan ad-Darimi (I/345-346).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu.
[18]. Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhâri (no. 406, 753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan an-Nasâ`i (II/51) dari Ibnu ‘Umar c. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408, 409) dan Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[19]. Shahîh. HR Ahmad (IV/264), an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban (no. 1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhuma.
[20]. Shahîh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361), Muslim (no. 2601), dan Ibnu Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[22]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/375).
[23]. Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[24]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377.
[25]. Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.
January 2, 2010 by Ummu Afif
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).
SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu ‘anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.
DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”[1]
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali”. [al-Fath/48 : 6] [2]
Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik sebelum maupun sesudahnya.[3]
Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” [asy-Syûrâ/42 : 11]
Sifat marah bagi Allah Azza wa Jalla merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang wajib ditempuh oleh setiap muslim.
Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau marah karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka beliau marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa Alaihissalam [4] dan marahnya Nabi Yunus Alaihissalam [5]. Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau jangan marah “ kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal.
Pertama. Maksud dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik yang semisalnya.
Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul berbagai sebabnya.
Kedua. Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan melakukan tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya.
Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:
”Dan setelah amarah Musa mereda… ” [al-A’râf/7 : 154]
Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah.
Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla :
“… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf” [asy-Syûrâ/42 : 37]
Juga dengan firman-Nya Ta’ala:
“…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” [Ali ‘Imrân/3 : 134]
Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meredam amarah adalah dengan mengucapkan: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”. Para sahabat berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?” Laki-laki itu menjawab, “Aku bukan orang gila”.[6]
Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” [al-A’râf/7 : 200]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.
“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring” [7].
Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.
Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.
“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam” [8].
Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji, melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua keburukan itu hilang darinya.
Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah”. [9]
Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.[10]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.
“Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah k akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai” [11].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ.
“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga” [12].
Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya, bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah Ta’ala berfirman:
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)… ” [at-Taubah/9 : 14-15]
Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau ketika berjihad di jalan Allah.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur`ân.”[13] Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-Qur`ân, berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`ân dan marah karena kemarahan Al-Qur`ân.
Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang dibencinya, kami mengetahuinya di wajah beliau.”[14]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat bagi beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ.
“Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar” [15].
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat atau mendengar sesuatu yang membuat Allah Azza wa Jalla murka, maka beliau marah karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya lalu bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar ini.” [16]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang imam yang shalat lama dengan manusia hingga sebagian mereka terlambat, beliau marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam melihat dahak di kiblat masjid, beliau marah, mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah Azza wa Jalla ada di depan wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan wajahnya ketika shalat.”[18]
Diantara do’a yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baca ialah:
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى.
“Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha” [19].
Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah atau ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah , mereka tidak bisa berhenti dari apa yang mereka katakan.
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada seorang laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah melaknatmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi diri kalian. kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi harta kalian. Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu tersebut permintaan diajukan, melainkan Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan bagi kalian.”[20]
Ini semua menunjukkan bahwa do’a orang yang marah akan dikabulkan jika bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya.
Seorang ulama Salaf t berkata, ”Orang yang marah jika penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku cambuk, maka aku menjadikannya sebagai penebus (dosa) baginya.”[21]
Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar dari orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah, ia dihukum karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.[22]
Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah mendurhakai kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri.”[23]
Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat kaffarat.
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami mentalaq istrinya dengan talaq satu dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan istrinya selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali haidh atau tiga bulan jika ia tidak haidh agar marahnya hilang.” Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.[24]
BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.
FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan marah!” Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang obat meredam amarah.
Maraaji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Ausath lith-Thabrani.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
5. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
7. Kutubus Sab’ah.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Mustadrak al-Hakim.
10. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
11. Shahiih al-Jâmi’ish Shaghîr.
12. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
13. Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
15. Sunan ad-Darimi.
16. Sunan al-Baihaqi.
17. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fat-hul Bâri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thâhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435), Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban (no. 6431 –at-Ta’lîqâtul Hisân), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nasâ`i dalam As-Sunanul-Kubra (no. 11222).
[4]. Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282, 6048, 6115), Muslim (no. 2610). Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila” silakan lihat Fat-hul Bâri (X/467).
[7]. Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152- Kasyful Astâr) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no. 693) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bâri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari Sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522).
[12]. Shahîh. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7374) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (no. 2749).
[13]. Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188, 216), an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no. 2333), dan ad-Darimi (I/345-346).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu.
[18]. Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhâri (no. 406, 753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan an-Nasâ`i (II/51) dari Ibnu ‘Umar c. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408, 409) dan Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[19]. Shahîh. HR Ahmad (IV/264), an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban (no. 1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhuma.
[20]. Shahîh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361), Muslim (no. 2601), dan Ibnu Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[22]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/375).
[23]. Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[24]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377.
[25]. Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.
January 2, 2010 by Ummu Afif
Visi, Misi, dan Program Calon Ketua OSIS SMP
1. Membawa pengurus-pengurus OSIS SMP YPWKS Cilegon menjadi lebih
baik dengan dilandaskan Iptek, Imtak, serta berwawasan yang luas yang
dpt membuat OSIS SMP YPWKS ini menjadi lebih maju dari SMP yg lain
2. Meningkatkan kenerja Osis SMP YPWKS Cilegon mejadi lebih baik dari
tahun-tahun sebelumnya demi tercapainya kinerja yang maksimal, dengan
dasar “Belajarlah Dari Sesuatu yang Kotor “ serta pelajaran yg terkandung
di dalamnya.
3. Memperkuat nilai-nilai keagamaan Osis smpYPWKS Cilegon, para siswa/i
dan seluruh warga sekolah, dengan dasar “ketuhanan yang Maha Esa”
serta IMTAK yang Kuat.
4. Menjadikan osis sebagai suatu wafah kegiatan para siswa dan seluruh
warga sekolah demi membantu tercapainya visi sekolah, dengan dasar
“Kami Percaya Bahwa Kami Bisa” serta amanah dalam pengabdiannya.
5. Menjadikan siswa-siswi SMP YPWKS Cilegon yang aspiratif, inovatif,
realistis, kreatif
MISI : ___________________________________________
1. Menampung seluruh kritik dan saran dari seluruh warga sekolah demi
sekolah yang terbuka.
2. Meningkatkan kegiatan-kegiatan cinta tanah air dan berbangsa demi
tercapainya cita2 sekolah di bidang kenegaraan degan memiliki siswa-siswi
yang cinta tanah air.
3. Meningkatkan kegiatan-kegiatan keagamaan demi tercapainya cita2
sekolah di bidang agama serta memiliki siwa-siswi yang soleh dan solehah.
4. Meningkatkan acara-acara kesenian yang “wah” sehingga memiliki siswa-
siswi yang kreatif dalam segala bidang.
5. Mewujudkan program2 yang baru dan fresh di SMP YPWKS Cilegon
6. Juga menjadikan organisasi ini yang SMART (Sigap, Menarik, Antusias,
Rajin, dan Teliti)
PROGRAM : _______________________________________
A. Jangka Panjang : ----------------------------------------------------
1. Menumbuhkan jiwa kepemimpinan siswa
2. Meningkatkan keterampilan & Kemandirian
3. Meningkatkan & Mengembangkan kreasi seni
4. Meningkatkan & mengadakan class meeting
5. Membantu telaksananya kegiatan ekstrakrikuler di bidang olahraga
(seperti sepak bola, futsal, bola basket) maupun di bidang studi lainnya.
B. Jangka Menengah: -------------------------------------------------
1. Memperingati hari - hari besar agama, nasional, kemerdekaan
dan hari - hari besar lainnya
2. Mengadakan berbagai lomba
3. Menyalurkan bantuan sosial ke berbagai tempat seperti ke daerah yg
terkena bencana maupun ke daerah yg penduduknya kurang mampu
dan sebagainya dengan menyalurkan bantuan sosial seperti kebutuhan
pokok (sandang, pangan) yang masih layak pakai
C. Jangka pendek : --------------------------------------------------------
1. Membuat kalender SMP YPWKS pada periode 2011/2012 mendatang
baik dengan dilandaskan Iptek, Imtak, serta berwawasan yang luas yang
dpt membuat OSIS SMP YPWKS ini menjadi lebih maju dari SMP yg lain
2. Meningkatkan kenerja Osis SMP YPWKS Cilegon mejadi lebih baik dari
tahun-tahun sebelumnya demi tercapainya kinerja yang maksimal, dengan
dasar “Belajarlah Dari Sesuatu yang Kotor “ serta pelajaran yg terkandung
di dalamnya.
3. Memperkuat nilai-nilai keagamaan Osis smpYPWKS Cilegon, para siswa/i
dan seluruh warga sekolah, dengan dasar “ketuhanan yang Maha Esa”
serta IMTAK yang Kuat.
4. Menjadikan osis sebagai suatu wafah kegiatan para siswa dan seluruh
warga sekolah demi membantu tercapainya visi sekolah, dengan dasar
“Kami Percaya Bahwa Kami Bisa” serta amanah dalam pengabdiannya.
5. Menjadikan siswa-siswi SMP YPWKS Cilegon yang aspiratif, inovatif,
realistis, kreatif
MISI : ___________________________________________
1. Menampung seluruh kritik dan saran dari seluruh warga sekolah demi
sekolah yang terbuka.
2. Meningkatkan kegiatan-kegiatan cinta tanah air dan berbangsa demi
tercapainya cita2 sekolah di bidang kenegaraan degan memiliki siswa-siswi
yang cinta tanah air.
3. Meningkatkan kegiatan-kegiatan keagamaan demi tercapainya cita2
sekolah di bidang agama serta memiliki siwa-siswi yang soleh dan solehah.
4. Meningkatkan acara-acara kesenian yang “wah” sehingga memiliki siswa-
siswi yang kreatif dalam segala bidang.
5. Mewujudkan program2 yang baru dan fresh di SMP YPWKS Cilegon
6. Juga menjadikan organisasi ini yang SMART (Sigap, Menarik, Antusias,
Rajin, dan Teliti)
PROGRAM : _______________________________________
A. Jangka Panjang : ----------------------------------------------------
1. Menumbuhkan jiwa kepemimpinan siswa
2. Meningkatkan keterampilan & Kemandirian
3. Meningkatkan & Mengembangkan kreasi seni
4. Meningkatkan & mengadakan class meeting
5. Membantu telaksananya kegiatan ekstrakrikuler di bidang olahraga
(seperti sepak bola, futsal, bola basket) maupun di bidang studi lainnya.
B. Jangka Menengah: -------------------------------------------------
1. Memperingati hari - hari besar agama, nasional, kemerdekaan
dan hari - hari besar lainnya
2. Mengadakan berbagai lomba
3. Menyalurkan bantuan sosial ke berbagai tempat seperti ke daerah yg
terkena bencana maupun ke daerah yg penduduknya kurang mampu
dan sebagainya dengan menyalurkan bantuan sosial seperti kebutuhan
pokok (sandang, pangan) yang masih layak pakai
C. Jangka pendek : --------------------------------------------------------
1. Membuat kalender SMP YPWKS pada periode 2011/2012 mendatang
Subscribe to:
Posts (Atom)