!Islamedia - Seorang anak di China pada 27 Januari 2006 mendapat penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan “Perbuatan Luar Biasa”. Diantara 9 orang peraih penghargaan itu, ia merupakan satu-satunya anak kecil yang terpilih dari 1,4 milyar penduduk China.
Yang membuatnya dianggap luar biasa ternyata adalah perhatian dan pengabdian pada ayahnya, senantiasa kerja keras dan pantang menyerah, serta perilaku dan ucapannya yang menimbulkan rasa simpati.
Sejak ia berusia 10 tahun (tahun 2001) anak ini ditinggal pergi oleh ibunya yang sudah tidak tahan lagi hidup bersama suaminya yang sakit keras dan miskin. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan.Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia.
Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai.Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini.
Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan Papanya.
Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil.
Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui.Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan.
Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya.Hidup seperti ini ia jalani selama 5 tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. Zhang Da merawat Papanya yang sakit sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya.Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih.
Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.Zhang Da menyuntik sendiri papanya. Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli.
Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi / suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa mampu, ia nekat untuk menyuntik papanya sendiri. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah terampil dan ahli menyuntik.Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, pembawa acara (MC) bertanya kepadanya,"Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu? Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah? Besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir.Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!"
Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa.
MC pun berkata lagi kepadanya, "Sebut saja, mereka bisa membantumu."Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar ia pun menjawab,"Aku mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama kembalilah!"
Semua yang hadir pun spontan menitikkan air mata karena terharu.
Tidak ada yang menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya.
Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya?
Mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit?
Mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, pasti semua akan membantunya.Mungkin apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya.
Aku mau Mama kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.
Kisah di atas bukan saja mengharukan namun juga menimbulkan kekaguman. Seorang anak berusia 10 tahun dapat menjalankan tanggung jawab yang berat selama 5 tahun.
Kesulitan hidup telah menempa anak tersebut menjadi sosok anak yang tangguh dan pantang menyerah.
Zhang Da boleh dibilang langka karena sangat berbeda dengan anak-anak modern. Saat ini banyak anak yang segala sesuatunya selalu dimudahkan oleh orang tuanya.
Karena alasan sayang, orang tua selalu membantu anaknya, meskipun sang anak sudah mampu melakukannya. [inspirasiduniakita]
http://www.islamedia.web.id/2011/09/
Thursday, September 22, 2011
Monday, May 30, 2011
Bekerja Keras belajar dari Fatimah RA puteri seorang Khalifah
Kasih sayang orang tua manakah yang melebihi kasih sayang Rasulullah Muhammad SAW kepada Fatimah RA putrinya.
Seperti dipetik dalam the Stories of Sahabah bahwa Ali RA pernah berkisah kepada murid-muridnya tentang Fatimah, putri kesayangan Rasulullah itu. “Fatimah biasa mengolah gandum sendiri sehingga kulit tangannya menjadi tebal. Dia bawakan air untuk keperluan rumah tangganya dengan sebuah kantong kulit sehingga meninggalkan bekas-bekas di kulitnya. Dia bersihkan sendiri rumahnya sehingga menjadi kotor pakaiannya."
Ketika mendengar para tawanan perang dibawa ke Madinah, aku berkata kepadanya, 'Pergilah kepada Rasulullah dan mintalah pelayan untuk membantumu di dalam pekerjaan rumah tangga.' Dia pun pergi kepada Rasulullah, tetapi menemukan sedang banyak orang di sekelilingnya. Karena sangat sopan dan rendah hati, Fatimah merasa berat untuk memohon kepada Rasulullah di hadapan orang lain.”
Keesokan harinya Rasulullah datang ke rumah kami dan berkata: “Fatimah, apa yang menyebabkan engkau datang menemuiku kemarin?” Fatimah merasa malu dan tetap diam. aku berkata “Ya Rasulullah, kulit Fatimah menjadi tebal dan berbekas karena mengolah gandum dan mengambil air. Dia selalu sibuk membersihkan rumah sehingga pakaiannya selalu kotor. Saya informasikan kepadanya tentang tawanan perang dan menyarankannya menemuimu untuk meminta seorang pelayan.”
Rasulullah menjawab, “Fatimah, takutlah kepada Allah! Bertakwalah dan ketika pergi tidur hendaklah kau baca Subhaanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali. Kau akan merasakan bahwa ini akan lebih membantumu daripada seorang pelayan." Fatimah berkata, “Saya bersama Allah dan Rasul-Nya.”
Adalah Rasulullah SAW sendiri yang memberikan teladan dengan selalu ringan tangan membantu anggota keluarganya. Pantaslah jika Fatimah RA menurutinya.
Bahkan di dalam Khashaish Madrasatin Nubuwah diriwayatkan bahwa Fatimah binti Muhammad telah mengisi seluruh lembaran hidupnya dengan bekerja keras. Bayangkan saja, di dalam satu waktu, Fatimah sanggup mengolah tepung dengan tangannya, sambil kakinya membuai Husain, mulutnya membaca Alquran, dan matanya menangis karena takut kepada Allah SWT. Seandainya hidupnya lebih panjang, dan ada peluang untuk melakukan lebih banyak pekerjaan, niscaya akan dihadapinya dengan tegar dan ceria.
Ali RA suaminya pun seorang pekerja keras yang tidak pernah memilih-milih pekerjaan. Pernah suatu ketika ia terpaksa membantu seorang wanita tua mengangkat 16 ember, demi mendapatkan 1 butir korma untuk setiap embernya, hingga tangannya bengkak-bengkak. Ketika ditunjukkan hasil pekerjaannya kepada Rasulullah SAW, beliaupun tersenyum, menunjukkan keridhaannya dengan ikut memakan kurma hasil pekerjaannya itu. Wallahu a'lam bish-shawab.
Rabu, 25 Mei 2011 01:01 WIB
Oleh: Abi Muhammad Ismail Halim, www.republika.co.id
Seperti dipetik dalam the Stories of Sahabah bahwa Ali RA pernah berkisah kepada murid-muridnya tentang Fatimah, putri kesayangan Rasulullah itu. “Fatimah biasa mengolah gandum sendiri sehingga kulit tangannya menjadi tebal. Dia bawakan air untuk keperluan rumah tangganya dengan sebuah kantong kulit sehingga meninggalkan bekas-bekas di kulitnya. Dia bersihkan sendiri rumahnya sehingga menjadi kotor pakaiannya."
Ketika mendengar para tawanan perang dibawa ke Madinah, aku berkata kepadanya, 'Pergilah kepada Rasulullah dan mintalah pelayan untuk membantumu di dalam pekerjaan rumah tangga.' Dia pun pergi kepada Rasulullah, tetapi menemukan sedang banyak orang di sekelilingnya. Karena sangat sopan dan rendah hati, Fatimah merasa berat untuk memohon kepada Rasulullah di hadapan orang lain.”
Keesokan harinya Rasulullah datang ke rumah kami dan berkata: “Fatimah, apa yang menyebabkan engkau datang menemuiku kemarin?” Fatimah merasa malu dan tetap diam. aku berkata “Ya Rasulullah, kulit Fatimah menjadi tebal dan berbekas karena mengolah gandum dan mengambil air. Dia selalu sibuk membersihkan rumah sehingga pakaiannya selalu kotor. Saya informasikan kepadanya tentang tawanan perang dan menyarankannya menemuimu untuk meminta seorang pelayan.”
Rasulullah menjawab, “Fatimah, takutlah kepada Allah! Bertakwalah dan ketika pergi tidur hendaklah kau baca Subhaanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali. Kau akan merasakan bahwa ini akan lebih membantumu daripada seorang pelayan." Fatimah berkata, “Saya bersama Allah dan Rasul-Nya.”
Adalah Rasulullah SAW sendiri yang memberikan teladan dengan selalu ringan tangan membantu anggota keluarganya. Pantaslah jika Fatimah RA menurutinya.
Bahkan di dalam Khashaish Madrasatin Nubuwah diriwayatkan bahwa Fatimah binti Muhammad telah mengisi seluruh lembaran hidupnya dengan bekerja keras. Bayangkan saja, di dalam satu waktu, Fatimah sanggup mengolah tepung dengan tangannya, sambil kakinya membuai Husain, mulutnya membaca Alquran, dan matanya menangis karena takut kepada Allah SWT. Seandainya hidupnya lebih panjang, dan ada peluang untuk melakukan lebih banyak pekerjaan, niscaya akan dihadapinya dengan tegar dan ceria.
Ali RA suaminya pun seorang pekerja keras yang tidak pernah memilih-milih pekerjaan. Pernah suatu ketika ia terpaksa membantu seorang wanita tua mengangkat 16 ember, demi mendapatkan 1 butir korma untuk setiap embernya, hingga tangannya bengkak-bengkak. Ketika ditunjukkan hasil pekerjaannya kepada Rasulullah SAW, beliaupun tersenyum, menunjukkan keridhaannya dengan ikut memakan kurma hasil pekerjaannya itu. Wallahu a'lam bish-shawab.
Rabu, 25 Mei 2011 01:01 WIB
Oleh: Abi Muhammad Ismail Halim, www.republika.co.id
Friday, May 6, 2011
Kisah Uang Rp 1.000,- & Rp. 100.000,-
Pertama kali keluar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu sama-sama bagus, berkilau, bersih, harum dan menarik. Namun tiga bulan setelah keluar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu dan bertemu kembali di dompet seseorang ternyata dalam kondisi yang berbeda.
Konon ceritanya uang seratus ribu bertanya pada uang seribu :
"Ya, ampuunnnn. .......... darimana saja kamu, kawan? Baru tiga bulan kita berpisah, koq kamu udah lusuh banget? Kumal, kotor, lecet dan...... bau! Padahal waktu kita sama-sama keluar dari PERURI, kita sama-sama keren kan ..... Ada apa denganmu?"
Uang seribu menatap uang seratus ribu yang masih keren dengan perasaan nelangsa. Sambil mengenang perjalanannya, uang seribu berkata :
"Ya, beginilah nasibku , kawan. Sejak kita keluar dari PERURI, hanya tiga hari saya berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya saya sudah pindah ke dompet tukang sayur yang kumal. Dari dompet tukang sayur, saya beralih ke kantong plastik tukang ayam. Plastiknya basah, penuh dengan darah dan taik ayam.
Besoknya lagi, aku dilempar ke plastik seorang pengamen, dari pengamen sebentar aku nyaman di laci tukang warteg. Dari laci tukang warteg saya berpindah ke kantong tukang nasi uduk, dari sana saya hijrah ke baluang Inang-inang.
Begitulah perjalananku dari hari ke hari. Itu makanya saya bau, kumal, lusuh, karena sering dilipat-lipat, digulung-gulung, diremas-remas. ......"
Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin.:
"Wah, sedih sekali perjalananmu, kawan! Berbeda sekali dengan pengalamanku. Kalau aku ya, sejak kita keluar dari PERURI itu, aku disimpan di dompet kulit yang bagus dan harum.
Setelah itu aku pindah ke dompet seorang wanita cantik. Hmmm...dompetnya harum sekali. Setelah dari sana , aku lalu berpindah-pindah, kadang-kadang aku ada di hotel berbintang 5, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, di tempat arisan Ibu-ibu pejabat, dan di tas selebritis. Pokoknya aku selalu berada di tempat yang bagus.
Jarang deh aku di tempat yang kamu ceritakan itu. Dan...... aku jarang lho ketemu sama teman-temanmu. "
Uang seribu terdiam sejenak. Namun dia menarik nafas lega, katanya :
"Ya. Nasib kita memang berbeda. Kamu selalu berada di tempat yang nyaman.
Tapi ada satu hal yang selalu membuatku senang dan bangga daripada kamu!"
"Apa itu?" uang seratus ribu penasaran.
"Aku sering bertemu teman-temanku di kotak-kotak amal di mesjid atau di tempat-tempat ibadah lain.
Hampir setiap minggu aku mampir di tempat-tempat itu. Hampir nggak pernah tuh aku melihat kamu disana....."
Himbauan Red: “Mari kita perbanyak amal jariah dengan menyisihkan uang Rp. 100.000,- ke kotak amal: mulai sekarang...“. Insya Allah hal ini dapat meningkatkan ke-IKHSAN-an kita.. Amiiin..
"Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan bila kamu berbuat buruk, maka sebenarnya (keburukan) itu bagi dirimu sendiri".
(QS Al-Israa' : 17)
Monday, March 28, 2011
Untuk Menjadi Pemenang tidak ada Pilihan Lain selain Kesabaran
Di suatu sore, seorang anak bernama Syamil datang kepada ayahnya yang sedang baca koran. “Ayah, ayah” kata sang anak. “Ada apa Syamil?” tanya sang ayah.
“Aku capek, sangat capek … aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus, sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek… aku mau menyontek saja! Aku capek. sangat capek!
Aku capek karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! Aku capek, sangat capek!
Aku capek karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung aku ingin jajan terus!
Aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati.
Aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedang teman-temanku seenaknya saja bersikap kepada ku.
Aku capek ayah, aku capek menahan diri… Aku ingin seperti mereka… Mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka Ayah!” Syamil mulai menangis.
Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata ”Syamil… ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu.”
Lalu sang ayah menarik tangan Syamil, kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang. Lalu Syamil pun mulai mengeluh ”Ayah mau kemana kita? Aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri, badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena ada banyak ilalang… aku benci jalan ini Ayah!” sang ayah hanya diam.
Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang.
“Wwaaaah… tempat apa ini Ayah? Aku suka! Aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Kemarilah Anakku, ayo duduk di samping ayah” ujar sang ayah, lalu Syamil pun ikut duduk di samping ayahnya.
”Syamil, tahukah Kau mengapa di sini begitu sepi? Padahal tempat ini begitu indah?” tanya sang ayah.
”Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?” sahut Syamil balik bertanya.
Sambil memandang mata anaknya, sang ayah menjawab ”Itu karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu”
”Ooh… berarti kita orang yang sabar ya Yah? Alhamdulillah” sahut Syamil, tampak senang.
”Nah, akhirnya kau mengerti” kata sang ayah. ”Mengerti apa? aku tidak mengerti” kata Syamil keheranan.
”Syamil…. butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi. Bukankah Kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, Kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, Kau harus sabar melawati ilalang dan Kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayar kan? Ada telaga yang sangat indah. Seandainya Kau tidak sabar, apa yang Kau dapat? Kau tidak akan mendapat apa apa anakku. Oleh karena itu bersabarlah anakku” sang ayah menjelaskan.
”Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar” sahut Syamil sambil menatap ayahnya dengan wajah yang ciut.
Sambil memegang tangan anaknya, ia meyakinkan ”Aku tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar Kau tetap kuat. Begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat Kau jatuh, kami bisa mengangkatmu. Tapi… ingatlah Anakku… ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat Kau jatuh, suatu saat nanti, Kau harus bisa berdiri sendiri… maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain. Jadilah dirimu sendiri… seorang pemuda muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu ada Allah di sampingnya… maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang… maka kau tau akhirnya kan?”
”Ya ayah, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini… sekarang aku mengerti… terima kasih ayah. Aku akan tegar saat yang lain terlempar” Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.
“Aku capek, sangat capek … aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus, sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek… aku mau menyontek saja! Aku capek. sangat capek!
Aku capek karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! Aku capek, sangat capek!
Aku capek karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung aku ingin jajan terus!
Aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati.
Aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedang teman-temanku seenaknya saja bersikap kepada ku.
Aku capek ayah, aku capek menahan diri… Aku ingin seperti mereka… Mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka Ayah!” Syamil mulai menangis.
Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata ”Syamil… ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu.”
Lalu sang ayah menarik tangan Syamil, kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang. Lalu Syamil pun mulai mengeluh ”Ayah mau kemana kita? Aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri, badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena ada banyak ilalang… aku benci jalan ini Ayah!” sang ayah hanya diam.
Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang.
“Wwaaaah… tempat apa ini Ayah? Aku suka! Aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Kemarilah Anakku, ayo duduk di samping ayah” ujar sang ayah, lalu Syamil pun ikut duduk di samping ayahnya.
”Syamil, tahukah Kau mengapa di sini begitu sepi? Padahal tempat ini begitu indah?” tanya sang ayah.
”Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?” sahut Syamil balik bertanya.
Sambil memandang mata anaknya, sang ayah menjawab ”Itu karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu”
”Ooh… berarti kita orang yang sabar ya Yah? Alhamdulillah” sahut Syamil, tampak senang.
”Nah, akhirnya kau mengerti” kata sang ayah. ”Mengerti apa? aku tidak mengerti” kata Syamil keheranan.
”Syamil…. butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi. Bukankah Kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, Kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, Kau harus sabar melawati ilalang dan Kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayar kan? Ada telaga yang sangat indah. Seandainya Kau tidak sabar, apa yang Kau dapat? Kau tidak akan mendapat apa apa anakku. Oleh karena itu bersabarlah anakku” sang ayah menjelaskan.
”Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar” sahut Syamil sambil menatap ayahnya dengan wajah yang ciut.
Sambil memegang tangan anaknya, ia meyakinkan ”Aku tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar Kau tetap kuat. Begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat Kau jatuh, kami bisa mengangkatmu. Tapi… ingatlah Anakku… ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat Kau jatuh, suatu saat nanti, Kau harus bisa berdiri sendiri… maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain. Jadilah dirimu sendiri… seorang pemuda muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu ada Allah di sampingnya… maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang… maka kau tau akhirnya kan?”
”Ya ayah, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini… sekarang aku mengerti… terima kasih ayah. Aku akan tegar saat yang lain terlempar” Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.
Friday, March 18, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)